Melanjutkan kisah naik kereta lintas benua kemarin, (part 1 bisa cek di sini )setelah melewati perbatasan China dan Mongolia, kereta berangkat kembali. Kami hanya bisa tertidur karena cukup kelelahan menunggu di perbatasan.
Salah satu view di Mongolia |
Jam 7 pagi aku terbangun. Yang lain masih tertidur lelap. Kulihat ke jendela, cuaca dan pemandangan pagi hari itu bikin takjub. Kubangunkan Teteh dan Bani. Tapi aku tidak berani membangunkan teman Perancis kami. Hehe. Takut masih kelelahan.
Kami bertiga keluar kabin untuk melihat pemandangan di jendela satunya. Rasanya kayak di negeri dongeng. Pemandangan alam luas berbukit-bukit seperti nggak ada habisnya. Kuda berlarian bergerombol. Sapi juga tidak kalah eksis pagi itu menyebar mencari wilayah rumputnya masing-masing.
Berbeda dengan kontur saat masih di dataran China yang kebanyakan adalah pegunungan, sawah, dan bebatuan, saat memasukin Mongolia pemandangan berubah menjadi bukit dan savana luas. Saking luasnya seperti tidak ada ujungnya. Yang kami lihat hanya hewan-hewan seperti kuda, sapi, dan domba. Katanya hewan-hewan ini ada yang masih liar dan ada juga yang sudah jadi milik peternak. Kalau memang milik peternak, hewan-hewan ini main nya jauh juga ya. Karena sejauh mata memandang tidak ada bangunan manusia ataupun manusianya sama sekali.
Pemandangan dari kereta |
Cukup lama kami nongkrong di jendela. Nggak bosan-bosan. Apalagi teman Perancis kami mulai ikut bergabung sembari bercerita tentang hewan-hewan di Mongolia. Untuk ukuran orang yang baru mau berkunjung ke Mongolia, wawasannya sudah cukup banyak. Katanya memang mimpinya sejak kecil untuk mengunjungi Mongolia. Apalagi kalau dia sudah cerita membayangkan akan menunggangi kuda di sana. Kami yang hanya mendengarkan jadi ikut senang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Perut kami mulai lapar. Apakah kami akan mendapatkan sarapan pagi juga? entahlah. Karena kalau harus makan di gerbong restoran lagi cukup mahal harganya. Dan agak jauh juga. Mager. Hehe. Namun akhirnya kami makan mie instan lagi. Nggak papa lah. Yang penting kenyang dulu. Nanti naik kereta berikutnya baru atur logistik lagi. Kalau Kawan perancis kami sih seringnya memang ke gerbong restoran. Katanya biar sambil merokok.
Sekitar jam 11 siang kereta berhenti di stasiun bernama Choir. Nama kotanya juga sama seperti nama stasiunnya, kota Choir. Kota Choir ini merupakan kota bekas military base soviet di tahun 1989 lalu. Dan yang bikin menarik perhatian dan membuat pengunjung turun dari kereta adalah di stasiun ini ada monumen kosmonot pertama dari Mongolia. Sebetulnya letak patungnya di luar stasiun. Jadi kami khawatir tidak diizinkan keluar untuk berfoto lebih dekat dengan patung tersebut. Namun ternyata hal tersebut diperbolehkan.
Stasiun Choir |
Selain itu, berbeda dengan Stasiun Erlian sebelumnya, di peron stasiun Choir banyak sekali ibu-ibu yang menjajakan jualannya. Ada yang menggunakan troly ataupun hanya menenteng kresek. Tapi masih belum seramai Stasiun Manggarai kok. Hehe.
Penjaja makanan di Stasiun Choir |
Menjelang sampai ke kota Ulaanbaatar kami disuguhi pemandangan sungai yang cukup lebar. Sejak perjalanan dari Beijing kemarin, kami baru melihat aliran sungai yang begitu lebarnya. Namun memang, bagi masyarakat Mongolia atau khususnya Ulaanbatar yang lokasinya dikelilingi daratan, aliran sungai menjadi sumber kehidupan.
Sungai Tuul, Ulaanbatar |
Sekitar pukul 3 sore, kereta kami sampai di Stasiun Ulanbaatar. Stasiunnya cukup modern karena sudah ada beberapa kafe franchise merk ternama di sini. Walau besarnya memang tidak sebesar Stasiun Erlian di perbatasan. Sepertinya memang yang ditaruh diperbatasan itu harus yang paling megah. Walaupun Ibu Kota Mongolia adalah di Ulaanbatar.
Stasiun Ulaanbatar |
Kami berempat keluar dari kabin dan turun dari kereta. Teman Perancis kami sudah dijemput oleh tour agent-nya sehingga kami berpamitan. Kami tidak bertukar media sosial apapun karena kelupaan. Jadi perpisahan saat itu seperti perpisahan yang tidak akan dipertemukan kembali. Huhu
"Good luck with the horse, enjoy your journey!", Ucap kami.
Dia melambaikan tangan sambil tersenyum.
Tidak beberapa lama ada seorang bapak menghampiri kami. Ternyata beliau adalah orang yang akan mengantarkan kami ke hostel. Beliau menganggguk tersenyum lalu mengajak kami untuk mengikutinya ke parkiran. Kami memasukkan barang ke mobil lalu berangkat meninggalkan Stasiun Ulaanbatar.
Walau kami sudah pernah browsing-browsing tentang Mongolia, namun apa yang ada di internet masih sedikit sekali. Gambaran tentang Mongolia yang saya tahu hanya sebatas Gengis Khan dan sejarahnya. Kami belum mengerti bagaimana budaya modern dan kebiasaan-kebiasaan di sana. Ok mungkin di internet sudah ada, namun karena tidak setenar negara lain, datang ke Mongolia saat itu seperti membuka doorprize. We don't know what to expect.
Mobil sedan yang dikendarai bapak supir mulai berjalan menyusuri jalanan lalu lintas Ulaanbatar. Menurut kami jalanan yang kami lewati saat itu cukup ramai dan modern. Banyak gedung tinggi dan mall saling berdempetan. Lalu ada juga gang-gang kecil yang menjadi tempat parkir atau sumber keraimaian penduduk setempat. Seperti Surabaya kali ya. Tapi sebetulnya area kota seperti ini hanya terpusat di satu area saja. Karena sebetulnya Ulaanbatar lebih banyak didominasi oleh bukit dan pegunungan.
Baru pertama kali aku lihat kota metropolitan dengan background perbukitan besar nan hijau. Bahkan bukitnya jauh lebih tinggi dari gedung-gedung di sana. Rasanya kayak di film Inception. Oiya karena Ulaanbatar ini berada di ketinggian 1.300 an mdpl, maka suhu di sana sangatlah dingin. Padahal saat itu sudah musim panas. Katanya saat musim dingin, suhunya hingga minus 30 derajat celcius. Brr..
Ulaanbatar, kota modern yang dikelilingi bukit dan pegunungan |
Tata kelola kotanya juga sudah rapih dan baik. Jalanan sudah diaspal dan terlihat ada beberapa taman kota. Oiya tapi yang mebuatku aneh adalah, berkendara di sini menggunakan setir di sebelah kanan seperti di Indonesia. Namun aturan lalu lintasnya adalah pengendara berjalan di sisi kanan jalan juga. Berbeda dengan di Indonesia yang aturan lalulintasnya pengendara berkendara di sisi sebelah kiri. Jadi di Ulaanbatar tidak bisa belok kiri langsung. Haha.
Katanya hal itu dikarenakan mobil-mobil di sana banyaknya import dari Jepang. Sedangkan tata aturan lalu lintasnya mengikuti gaya Rusia atau Eropa. Jadi menurutku lebih banyak menimbulkan blindspot bagi si supir jika dibandingkan dengan Indonesia. Entah ya, mungkin bagi mereka hal tersebut sudah biasa.
Kami mulai memasuki parkiran hostel. Supir menunjukkan gedung tempat kami akan bermalam. Kulihat gedung tua dan lusuh. Seperti tidak terawat. Beberapa gedung di sampingnya pun serupa. Seperti gedung kosong yang jarang dikunjungi. Yah tidak apa-apa, yang penting bisa tidur, pikirku.
Tapi ketika masuk ke lantai hostelnya, menurutku hostel ini sangat bagus. Berbeda dengan apa yang terlihat dari luar. Interiornya sudah modern. Desainnya pun seperti desain apartement modern. Kami langsung disambut ramah oleh pemilik hostel.
Hostel kami bernama Zaya Hostel. Mereka cukup terkenal di forum-forum traveller atau backpacker. Pemiliknya ini lah yang membantu kami saat proses pengajuan visa ke Mongolia. Omong-omong tentang visa Mongolia, untuk mendapatkan visanya gampang-gampang susah lho.
Bagi manusia Indonesia yang kekuatan passportnya belum sekuat Thanos, kami harus mendapatkan invitation letter atau surat undangan dulu dari pihak Mongolia. Zaya Hostel membuat invitation letter dengan nama kami lalu mereka kirimkan undangan tersebut ke konsulat Mongolia yang ada di Indonesia. Setelah itu baru kami dihubungi oleh Zaya hostel bahwa kami sudah bisa mengajukan visa ke konsulat. Dan masa berlaku visa kami cukup singkat, hanya 4 hari. Dari tanggal 25 Agustus sampai 28 Agustus.
Setelah membereskan isi tas dan rebahan sebentar, sekitar sore menjelang magrib, kami keluar berjalan kaki mencari tempat makan dan membeli logistik. Restoran hingga kafe cukup menjamur di pinggir jalan. Mall-mall pun sangat mudah diakses dengan berjalan kaki. Walau begitu kondisinya terbilang nyaman untuk berjalan kaki. Kecuali temperatur udara yang makin sore makin turun suhunya. Brr..
Dari beberapa jenis makanan yang dijajakan di sepanjang jalan, kami kurang kenal dengan makanan di sana. Bentuknya cukup unik-unik sehingga agak susah menerka apa isi dari racikannya. Akhirnya kami masuk ke sebuah kedai pizza lokal di sana. Setidaknya kami familiar dengan pizza. Hehe
Yang jadi masalah adalah tidak ada satupun di kedai tersebut yang bisa berbahasa inggris. Jadi kami pakai bahasa tarzan. Yang penting maksudnya tersampaikan. Hehe.
Keesokan paginya tanggal 27 Agustus 2018, kami mengikuti one day tour di kota Ulaanbatar dan sekitarnya. Kami bertiga ditemani guide cantik super talenta dan seorang driver. Kemampuan guide kami ini tidak tanggung-tanggung. Dia tahu betul seluk beluk kisah Mongolia dan Ulaanbatar. Tidak hanya spesifik di dunia travelling, namun dari bisnis, sejarah, hingga politik. Namanya Oyuna. Kami baru tahu di akhir tur bahwa beliau ini adalah pemilik Zaya Travel. Masih partneran juga sama si pemilik Zaya Hostel. Dan perusahaan mereka merupakan salah satu yang terfavorit di Mongolia.
Selama satu hari kami diajak berkeliling Ulaanbatar. Tentunya bukan di kotanya yang sekarang menjadi tempat tinggal kami. Namun keluar dari daerah perkotaan menuju perbukitan luas minim pemukiman. Sebelum batas kota, mobil kami harus melalui penyemprotan perbatasan. Mungkin semacam disinfektan kali ya. Mobil harus melewati sebuah kain tebal basah yang berada di jalan untuk sterilisasi bagian ban. Hal itu ditujukan agar alam tidak terkena penyakit/bakteri dari kota, dan bgegitupun sebaliknya. Agar bakteri dari hewan-hewan di luar perkotaan, tidak masuk ke kota.
Mongolia merupakan negara yang terkurung di daratan Asia Timur berbatasan dengan Rusia di utara dan China di selatan. Dengan luas wilayah 1,5 juta km2, Mongolia hanya memiliki penduduk sebanyak 3,7 juta orang tahun 2018 (Jika dibandingkan dengan Indonesia, Indonesia memiliki luas wilayah 1,9 juta km2 dengan penduduk sebanyak 360 jutaan). Bayangkan, penduduknya hanya 3,7 juta. Penduduk Jakarta saja 10 juta orang. Nah dari 3,7 juta penduduk Mongolia, 1,5 jutanya tinggal di Ulaanbatar.
Untuk destinasi pertama kami diajak ke Monument of Hero yang ada di sisi selatan Ulaanbatar. Karena Monument of Hero dibuat cukup tinggi, dari sini kami bisa melihat landscape kota Ulaanbatar membentang dari timur ke barat.
Monument of Hero, Ulaanbatar |
View dari Monument of Hero |
Dari sini juga terlihat gedung-gedung tinggi yang bersandingan dengan rumah tradisional Mongolia yang biasa disebut Ger (dibaca 'gir'). Bentuk Ger seperti tenda berwarna putih dengan berbentuk bulat silinder. Info dari Oyuna, area-area tersebut memang direncanakan untuk pembangunan gedung dan apartement. Namun beberapa warga yang tinggal di Ger tetap mempertahankan wilayahnya. Entah untuk berapa lama.
Bedanya apa warga yang tinggal di hunian modern dan warga yang tinggal di Ger? Jadi, awal permulaannya, pemerintah Mongolia mewajibkan seluruh warganya dari kecil untuk mengenyam pendidikan hingga ke universitas. Setelah lulus dari universitas, mereka diberi pilihan untuk hidup nomaden atau hidup menetap. Jika hidup nomaden biasanya mereka tinggal di Ger. Sedangkan yang memilih hidup menetap ya seperti tinggal di rumah atau apartement pada biasanya. Penduduk nomaden ini berjumlah 30 persen dari seluruh populasi penduduk Mongolia.
Gedung modern dan rumah tradisional Ger dalam satu wilayah |
Kenapa kok mereka mau hidup nomaden? karena dengan memilih hidup nomaden, berarti mata pencaharian mereka adalah beternak. Tapi kan beternak bisa menetap di satu tempat juga bukan? Tidak bagi mereka. Mereka yang memilih jalan hidup nomaden dan beternak, harus memelihara ratusan bahkan ribuan ternaknya (kuda, sapi, domba, dll). Sedangkan binatang harus bermigrasi mengikuti musim. Sehingga peternak harus mengikuti kemana ternaknya pergi tergantung musimnya. Seru ya.. dalam setahun mungkin 3-4 kali berpindah tempat.
Selama di Monument of Hero, Oyuna menceritakan sejarah Mongolia dan Rusia hingga bagaimana mereka bertahan di kontur geografis seperti ini. Nanti aku ceritakan detail tentang Mongolia di lain waktu ya. Bisa 4 sks sendiri ceritanya. Seru banget.
Di dalam Monument of Hero. Gambar-gambar tersebut menceritakan bagaimana pengaruh Mongolia di perang dunia. |
Setelah dari Monument of Hero kami diajak ke monumen Gengis Khan. Selama perjalanan kami disuguhi bentang alam Mongolia yang menakjubkan. Serius deh. Diluar Indonesia, Mongolia adalah tempat favoritku. Sungai yang kami lewati saat di kereta sebelumya, juga terlihat sesekali di pinggir jalan. Begitu juga dengan perbukitan dan pegunungan yang tidak kalah eksis menyapa kami.
Pemandangan di sepanjang jalan |
Istirahat siang, kami berhenti di sebuah kedai kecil penjual khushuur. Khushurr merupakan makanan khas mongolia yang terbuat dari adonan yang diisi daging. Bentuknya sebesar telapak tangan. Kalau di Indonesia bentuknya persis seperti pastel tapi lebih besar. Jadi bisa kita konsumsi sebagai makanan utama karena porsinya yang besar. Hahaha. Kemarin di Tanzania ada pastel sekarang di Mongolia pun ada pastel. Hehe.
Sebagai teman pastel Mongolia, kami disajikan susu sapi asli. Baru diperas lho. Rasanya ya rasa susu sapi. Selain itu kami juga disuguhkan salah satu minuman khas Mongolia yaitu fermentasi susu kuda. Ew! Kataku dalam hati. Tapi karena penasaran aku tertarik untuk mencobanya. Rasanya kecut seperti yogurt. Ya namanya juga fermentasi. Hehe.
Ketika sedang mengobrol sambil santap siang, tiba-tiba ada yang menyapa dari meja sebelah.
"Hey guys! are you from Malaysia?", tanya seorang pemuda yang sedang bersama 4 temannya.
"No, we are from Indonesia",
"Oh! I know Indonesia. Beautiful place!", jawabnya lagi.
"We are from Rusia!", lanjut temannya tidak kalah bersemangat.
Mereka adalah turis Rusia yang juga sedang tur di hari itu. Kami bertukar cerita tentang pengalaman seharian ini. Mereka senang ngobrol dengan kami karena sepertinya ingin coba mengobrol dengan bahasa inggris. Karena walau mereka turis, guide mereka bisa berbahasa Rusia. Karena di Mongolia bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Mongolia dan bahasa Rusia. Jadi bahasa Inggris adalah bahasa ketiga di sana.
"Indonesia is quite famous in Mongolia for learn English", tutur Oyuna.
"What do you mean?"
"Yes, we know that in indonesia there's village that teach english", jawabnya.
Seketika aku teringat Kampung Inggris di Pare.
"Yeah we have that place called Kampung Inggris located in east Java", ujarku.
Katanya sering kali orang Mongolia ke Indonesia untuk belajar bahasa Inggris di Kampung Inggris. Benarkah? Wah keren banget ya Indonesia.
Perjalanan dilanjut kembali ke Monumen Gengis Khan. Patung Gengis Khan ini berdiri megah setinggi 40 meter. Dimana di area bawah patung terdapat museum dan toko oleh-oleh. Pengunjung pun diizinkan untuk menaiki patung setinggi 30 meter. Pemandangan dari atas bikin merinding. Bagus banget ya Allah. Kami bahkan sempat mencoba berfoto menggunakan baju tradisional Mongolia. Ngapain ih? Biar aja mumpung bisa. Haha
Di atas patung Genghis khan |
Baju adat Mongolia |
Patung Gengis Khan dari kejauhan |
Setelah dari patung Gengis Khan kami melanjutkan perjalanan ke Rock Mountain. Atau dalam bahasa Indonesia adalah Gunung Batu. Haha. Jadi area Rock Mountain merupakan salah satu taman nasional yang di dalamnya terdapat trek hiking, tempa ibadah, kuil, patung, dan lain-lain.
Rock Mountain, Ulaanbatar |
Ada salah satu lokasi di area Rock Mountain yang bernama Grand Dad's Cave. Grand Dad's Cave merupakan salah satu kuil paling tinggi di sana. Lokasinya bisa diakses setelah 1-2 jam hiking dari tempat parkir. Dari sana kami bisa melihat view yang membentang di sisi timur. Aduhai, meleleh hati ini. Sampai terharu aku dibuatnya. Selama perjalanan berkereta dari Beijing ke Moscow, menurutku Rock Mountain adalah tempat paling indah. Hiperbolisnya mah bisa merubah seorang rocker jadi pujangga. Hahaha.
View dari Grand Dad's Cave, Rock Mountain, Ulaanbatar. |
Saat menikmati pemandangan, tiba-tiba hujan turun rintik-rintik. Yah, kukira hujannya hujan salju. Ternyata masih air. Hehe. Padahal waktu itu aku berharap bisa melihat salju. Hehe.
Ternyata hujan makin besar. Bukan makin deras tapi makin besar alias yang jatuh adalah butiran es sebesar snack pilus. Yah, walau bukan salju, tapi cukup senang lah dikasih es batu. Hehe.
Hujan es sebesar pilus. |
Setelah puas bermain di Rock mountain, kami melanjutkan perjalanan untuk pulang ke kota. Sepanjang perjalanan sering sekali binatang menyebrang jalan raya. Seperti kuda, sapi, dan domba. Kami seperti sedang berada di lokasi shooting film. Pemandangan yang tidak pernah kulihat dimanapun.
Kuda sering kali menyebrang jalan raya. Sebetulnya kita yang menyebrang alam mereka. Hehe. |
Melihat indahnya perbukitan dan pegunungan di sini, aku bertanya apakah turis asing seperti kami boleh dengan sembarangan memasang tenda secara bebas. Oyuna menjelaskan bahwa hal itu sangat memungkinkan. Belum ada peraturan apapun tentang hal tersebut. Dia hanya berpesan untuk berhati-hati dengan serigala. Karena mereka suka berkeliaran untuk memangsa hewan ternak.
Oiya jika kita ingin bermalam di rumah Ger juga bisa. Ada lokasi khusus untuk turis mencoba menginap di rumah Ger. Aku bertanya kepaa Oyuna apakah kami bisa tinggal di Ger yang asli dengan penduduk lokal? bukan yang khusus dibuat untuk turis?. Oyuna mengatakan hal tersebut jarang terjadi karena biasanya penduduk lokal jarang menerima turis untuk menginap di rumah Ger nya.
Bentuk Ger, rumah tradisional Mongolia. |
Sebelum Magrib, kami sampai di Hostel. Oyuna mengantarkan kami ke dalam. Kami berterima kasih karena telah ditunjukkan tempat-tempat yang sangat indah. Pemilik Hostel mengatakan kami sangat beruntung Oyuna yang mengantar kami berkeliling. Karena biasanya karyawannya yang mengantarkan tamu, bukan bos nya. Hehe. Oiya selain itu Oyuna juga fotografer jadinya sering sekali Oyuna menjadi pengarah gaya dan menunjukkan lokasi foto yang paling bagus. Hehe. Setelah berpamitan, kami saling bertukar facebook dan masih keep in touch hingga sekarang.
Malam hari kami membeli logistik untuk bekal perjalanan ke kota selanjutnya yaitu Irkutsk di Rusia. Durasi berkereta dari Ulaanbatar ke Irkutsk adalah sekitar 24-25 jam. Sehingga logistik yang kami siapkan tidak begitu banyak.
Tanggal 28 Agustus sore kami berangkat dari stasiun Ulaanbatar. Kami bertiga segera masuk ke dalam kabin dan langsung membereskan barang. Kereta yang kami gunakan sekarang adalah kereta nomer 305. Interiornya agak berbeda dengan kereta sebelumnya namun fasilitas yang diberikan cukup sama.
Interior kereta nomer 305 (Ulaanbatar-Irkutsk). |
Kuliat keluar jendela. Ada seorang pemuda memakai celana panjang dan jaket abu adidas dengan khas 2 strip nya. Dia sedang berpamitan pada ibu dan adiknya. Ibunya pakai kerudung, jadi kami asumsikan mereka muslim. Pemuda tersebut mungkin berumur 20an. Sambil menenteng koper kotaknya, dia pergi bersalaman untuk terakhir kali dengan ibu dan adiknya lalu pergi ke pintu kereta. Orang lain yang berpamitan tapi kami jadi ikutan sedih.
Beberapa lama kemudian pintu kabin kami bergeser terbuka, pemuda tadi sudah ada didepan pintu. Wajahnya tersenyum malu lalu langsung menaruh tas ranselnya di kasur atas. Aku berdiri untuk membantu memasukkan tas kopernya ke kolong kasur di bagian bawah. Kemudian dia ikut duduk terdiam. Wajah putih kurusnya agak kikuk.
"Is she your mother?", Tanyaku berbasa basi.
"ah, yes.. my mother", jawabnya agak terbata.
Pemuda ini melambaikan tangannya ke ibunya dari jendela. Kulihat ibu dan adiknya sedang melambaikan tangan juga. Kami ikut tersenyum, namun tidak ikut melambaikan tangan juga sih. Hehe. Beberapa saat kemudian kereta pun berangkat.
Kami bertiga mengobrol dalam bahasa inggris agar si pemuda tidak tersinggung kalau kami mengobrol dalam bahasa Indonesia. Siapa tahu dia mau ikut nimbrung ngobrol juga. Tapi sepertinya dia pendiam. Akhirnya kami mulai membuka obrolan. Oiya aku kesal mengapa aku lupa namanya. Karena namanya unik. Seingatku aku harus bekali-kali mengucapkan namanya hingga mengucapkan lafal yang tepat. Haha. Mari kita sebut kawan kita ini Diaz.
"This is your first time using this train?",
Diaz terlihat berfikir, lalu menjawab
"No, I have college in Rusia", jawabnya.
"Are you student? what major do you take?" tanyaku.
"I don't speak english.. just little", ujarnya lagi sambil menunjukkan isyarat sedikit dari tangannya.
Kami mengangguk paham dan mengisyaratkan bahwa hal itu tidak menjadi masalah. Walau begitu kami tetap bisa mengobrol. Jadi Diaz baru selesai liburan kuliah dan harus kembali ke kampus untuk memulai semester ganjil. Dia ingin jadi arsitek sehingga sedang mengambil jurusan arsitek di salah satu universitas di Irkutsk. Irkutsk memang terkenal dengan arsitekturnya yang bagus.
"You muslim?", tanyanya.
"Yes we are muslim. From Indonesia", jawab kami. Lalu dia hanya mengangguk.
Diaz kembali terdiam menyusun kata-kata untuk bertanya.
"Brother? Sister?", Tanyanya lagi sambil menunjuk kami satu persatu.
"Yes we are brother and sister travelling together", jawab kami lagi.
Diaz sedikit tersenyum.
"I am from Kazakstan", ujarnya.
"You are from Kazakstan but your home in Ulanbataar?", tanyaku.
"My home in Kazakstan. My University in Irkutsk. Train from Mongolia", katanya.
Jadi Diaz adalah orang kazakstan namun sering menggunakan kereta dari Ulaanbatar untuk berkendara menuju Irkutsk, Rusia.
Tiba-tiba seorang ibu-ibu dengan baju seragam berdiri di depan kabin kami. beliau tersenyum lalu meminta kami memperlihatan passport dan tiket. Setelah itu beliau mengobrol dengan Diaz. Sepertinya mereka sudah saling kenal. Mereka mengobrol layaknya kawan lama yang baru bertemu kembali. Bagi mahasiswa Mongolia seperti Diaz yang kuliah di Rusia, pasti sering sekali naik kereta ini. Kulihat memang passportnya penuh dengan stempel imigrasi. Setelah mengobrol, Ibu itu tersenyum kepada kami lalu pamit ke kabin selanjutnya.
Diaz izin ke kasur atas untuk tidur. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 6 sore. Saatnya beristirahat.
Sekitar jam 8 malam, tiba-tiba ibu-ibu awak kabin tadi datang dan meminta Bani untuk mengikutinya. Bani kebingungan dengan instruksi dalam bahasa Rusia. Sambil keheranan Bani akhirnya ikut keluar. Berselang beberapa menit, bani masih tak kunjung kembali.
Tiba-tiba kulihat bani dan Ibu-ibu tadi lewat di depan kabin kami. Bani ditarik-tarik tangannya oleh si ibu-ibu. Sama dengan kami, wajah Bani pun terlihat keheranan, kenapa dirinya ditarik-tarik lengannya bolak balik desepanjang lorong. Hahaha.
Sekitar 10 menit berlalu, Bani masuk ke kabin sambil tertawa. Jadi kata Bani bahasa Inggris si Ibu ini kurang bagus. Karena itu Bani dimintai tolong untuk menjelaskan ke seluruh penumpang di gerbong bahwa kereta akan segera melewati perbatasan Mongolia-Rusia, sehingga kamar mandi tidak bisa digunakan sejak dari jam 9 malam hingga jam 1 dini hari.
"Tadi ibu itu cuma nunjuk-nunjuk kamar mandi terus bilang Rusia-Rusia", Kata Bani.
"Ternyata minta tolong infokan bahwa toilet ditutup selama melewati perbatasan Mongolia-Rusia", Lanjutnya lagi.
Oh gitu toh. Hahaha.. Ada-ada saja.
"Terus nanti di perbatasan kita turun dari kereta atau di dalem kereta aja?"
"Nah nggak tau deh",
Kulihat Diaz terbangun melihat kami yang sedang sibuk mengobrol. Melihat gerak gerik tangan kami, dia langsung mengerti dan mengatakan bahwa selama di perbatasan kita cukup menunggu di kereta.
Bani habis jadi asisten awak kereta. Haha. |
Kereta mulai berhenti. Aku melihat ada sebuah gedung namun tidak tahu apakah gedung stasiun atau bukan. Kami keluar kabin untuk mengecek keadaan. Gerbong kami saat itu cukup ramai. Beberapa kabin terisi penumpang. Bahkan jika didengar dari bahasanya, gerbong sebelah kami sepertinya merupakan warga Malaysia.
Beberapa saat kemudian petugas dari imigrasi Mongolia datang dan mengecek dokumen kami seperti biasa. Prosedur tersebut berjalan dengan lancar.
Selang bebera puluh menit, datang petugas imigrasi dari Rusia. Yang datang tidak hanya 2 orang. Namun hingga tiga orang. Bahkan ada satu orang lagi sambil membawa anjing pengendus.
Di dalam kabin kami diinstruksikan agar berdiri satu persatu untuk pengecekan passport. Ditanya asal dan pekerjaanya, ditanya apakah membawa barang-barang berbahaya, ditanya apakah membawa barang berharga, dan lain-lain. Pokoknya pertanyaan-pertanyaan yang biasanya ada di lembar isian custom ketika naik pesawat.
Setelah itu, kami dipersilahkan membuka tas kami lalu menunggu di luar kabin. Setelah kami berbaris di luar, petugas dengan anjing pengendus masuk kedalam dan menggeledah semua barang bawaan kami.
Tidak hanya itu, petugas juga mengecek semua celah-celah kecil yang ada di dalam kabin. Ventilasi udara, sekat laci, sekat kasur (yang bahkan kita tidak tahu kalau ada sekatnya), selimut dan bantal, pokoknya semuanya. Bagi kami yang baru pertama kali mengalami ini, agak shock juga. Hehe. Saat kulihat Diaz, dia terlihat khawatir juga. Entahlah, padahal dia sudah sering bolak-balik perbatasan.
Setelah semua selesai, kira-kira sekitar lima menit, kami dipersilahkan masuk dan petugas pergi ke kabin selanjutnya. Dari yang kudengar di gerbong orang Malaysia sih prosedur dan pertanyaanya juga serupa. Maka dari itu kita tidak bisa menggunakan toilet saat melintasi perbatasan, mungkin di toilet juga dilakukan pengecekkan.
Diaz bercerita jika dalam pengecekan tadi ada rasa curiga sedikitpun dari pihak imigrasi, kita akan disuruh turun dan tidak bisa melanjutkan perjalanan hingga dinyatakan aman oleh petugas. Phew! Walau sudah sering, ternyata dia deg-degan juga.
Berselang satu jam, terdengar ada orang dari luar kabin memanggil nama adikku.
"Yes, that's me", jawab Bani sigap keluar dari kabin.
Bani diminta petugas untuk mengikutinya. Kemudian mereka langsung turun dari Kereta. Kira-kira kenapa yah?
Tidak hanya satu atau dua jam, Bani tidak kembali hingga hampir 4 jam. Waktu hampir menunjukkan pukul 1 dini hari. Aku dan kakakku mulai khawatir ada yang salah dengan dokumen Bani. Yang paling gawat adalah jika kami harus turun dari kereta dan tidak dapat melanjutkan perjalanan.
Akhirnya jam 1 kurang, Bani masuk ke dalam kabin.
"Ban kenapa ban?", tanya kami penasaran.
Diaz yang sudah tertidur di atas terlihat bangun penasaran menyimak kami mengobrol.
"Iya mereka meemohon maaf dan minta izin untuk dilakukan interview lanjutan karena wajah dan nama Bani menyerupai wajah dan nama teroris", jawab Bani.
"Wew", kata kami berdua.
"Tapi mereka nginfoin juga itu hanya prosedur karena yang menentukan siapa mirip siapa itu semuanya sistem komputer. Beberapa orang dari berbagai macam ras juga ada yang diinterogasi di sana", jelasnya lagi.
"Oh gitu.. tapi sampai 4 jam gini, ditanya apa aja Ban?"
"Nah itu yang Bani bingung, nanyanya masa sampe ke 'dimana nenekmu bersekolah, siapa gurunya, dll' kan Bani nggak tau ya, haha. Pokoknya pertanyaan-pertanyaan history keluarga, teman masa kecil, macem-macem lah", tambahnya.
Hmm pantas saja lama, mungkin memang karena seketat itu melewati perbatasan Rusia via kereta.
"Tadi ada orang yang visa Rusianya belum valid loh. Kasian",
"Loh terus gimana nasibnya?",
"Nggak tau makanya, semoga nggak kenapa-kenapa deh.",
Jam 1 an lewat, kereta mulai berjalan lagi. Malam itu tidak ada habis-habisnya aku menanyakan pengalama Bani di interview selama itu oleh petugas. Haha..
Chapter Rusia, di tulisan berikutnya yaa.. Biar tidak kepanjangan. Hehe..
Mana lanjutannya nih 😅
ReplyDeleteLagi otw hehe.. Part terakhir ditunggu
DeleteMenyesal masuk kesini, bikin pengen 😠😅
ReplyDeleteIni perjalanan yang aku inginkan juga wkwkw , mulai dari liat yutub yg ke Kilimanjaro baca detil nya dan baca cerita naik kereta ini sungguh bahagia a , cara bercerita mu juga asik dan detil kak
ReplyDeleteSangat bikin iri sekali hahaha
ReplyDeleteThanks mbak Furky sudah bercerita, semoga suatu saat nanti saya juga ada kesempatan coba Trans Siberian
syukaaa ....
ReplyDeleteSalam kenal, jangan lupa ya ceritanya di lanjutkan sampai kembali ke tanah air. Oh iya jangan lupa juga di share rincian biaya nya ya, yang detil ya, siapa tahu saya ada rezeki bisa napak tilas Beijing - Moskwa he he he
ReplyDeleteAssalamu'alaikum....kami berniat ke Mongolia...cara urus visanya?
ReplyDelete